Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar menyebab-
kan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencer-
daskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia tetapi mulai berge-
ser menuju pendidikan sebagai komoditas (Saksono, 2010: 76). Penga-
ruh globalisasi yang sedang dan akan berlangsung akan berpengaruh
terus-menerus sampai waktu yang tidak ditentukan dan ini semakin
sulit untuk diatasi. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi pada masa-masa yang akan datang, rasanya sangat berat
sehingga bangsa Indonesia harus secara serius menangani masalah ini.
Globalisasi telah mengakibatkan pergeseran tujuan pendidikan
nasional dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak lagi hanya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih berfokus untuk
menghasilkan lulusan yang menguasai scientia. Dengan penguasaan
scientia dinilai mengarahkan peserta didik kepada hasil yang bersifat
pragmatis dan materialis, karena kurang membekali peserta didiknya
dengan semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial, serta sifat-
sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara (Saksono,
2010: 76). Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter
yang cukup memprihatinkan. Demoralisasi mulai merambah di dunia
pendidikan seperti ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan
diri, kurangnya tanggung jawab sosial, hilangnya sikap ramah-tamah
dan sopan santun (Sutiyono dalam Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2010:
42).
Henricus Suparlan 57
Untuk menangkal model pendidikan semacam itu maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap
distorsi-distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Ki
Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh
melalui petunjuk “trikon”, yaitu kontinyu dengan alam masyarakat
Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu
dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu
namun tetap mempunyai kepribadian sendiri (Dewantara, 1994: 371).
Pestalozzi, Frobel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh pen-
didikan yang berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan kebu-
dayaan di dalam kurikulum pendidikan. Mulai dari TK (Taman Kanak-
kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah unsur-unsur kebuda-
yaan lokal dimasukkan dalam kurikulum untuk melatih panca indera
jasmani, kecerdasan dan utamanya adalah kehalusan budi pekerti.
Pelajaran yang diberikan di Taman Indria mulai dari dolanan anak,
mendongeng, hingga sariswara yaitu menggabungkan antara lagu,
cerita dan sastra. Nilai-nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik
rasa, pikiran dan budi pekerti. Anak-anak yang sudah agak besar,
misalnya di Sekolah Menengah Pertama (Taman Dewasa) dan Sekolah
Menengah Atas (Sekolah Menengah Madya), diberikan pelajaran olah
gendhing.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa olah gendhing dan seni
tari adalah untuk memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan
(Dewantara, 2011: 344). Tari Bedoyo dan Tari Serimpi diberikan kepada
anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang
mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian, dan rasa keindahan.
Berdasarkan pada uraian di atas maka artikel ini secara khusus
akan membahas beberapa permasalahan, yaitu: (a) Apa hakikat pendi-
dikan menurut Ki Hadjar Dewantara?; (b) Apa filsafat pendidikan Ki
Hadjar Dewantara?; dan (c) Apa sumbangan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara bagi pelaksanaan pendidikan Indonesia?
58 Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015
KONSEPSI PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA
DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan
untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat
Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan dalam alam per-
guruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara memasukkan kebudayaan dalam diri anak
dan memasukkan diri anak ke dalam kebudayaan mulai sejak dini, yai-
tu Taman Indria (balita). Konsep belajar ini adalah Tri No, yaitu nonton,
niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton di sini adalah secara pasif
dengan segenap panca indera. Niteni (affective) adalah menandai, mem-
pelajari, mencermati apa yang ditangkap panca indera, dan nirokke
(psychomotoric) yaitu menirukan yang positif untuk bekal menghadapi
perkembangan anak (Dwiarso, 2010: 1).
Ketika anak didik sudah menginjak pada pendidikan Taman Mu-
da (Sekolah Dasar), kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan
Nglakoni. Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya
dididik intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar Dewantara
'ngerti', melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective)
serta nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah
anak menjalani proses belajar mengajar dapat mengerti dengan akal-
nya, memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan atau
melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan
masyarakat.
Sebagai bagian akhir dari hasil pendidikan, menurut Ki Hadjar
Dewantara, adalah menghasilkan manusia yang tangguh dalam kehi-
dupan masyarakat. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang ber-
moral Taman Siswa, yaitu mampu melaksanakan Tri Pantangan yang
meliputi tidak menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan, tidak
melakukan manipulasi keuangan dan tidak melanggar kesusilaan (Ki
Suratman, 1987 : 13).

Among these so-called philosophy of education in which the convergence of the
philosophy of progressivism about the child's natural ability to resolve the pro-
blems faced by giving the widest freedom of thought, but it also uses culture that
has stood the test of time, according to essentialism, as the basic education of the
child to achieve his goal. In this case Ki Hadjar Dewantara using native Indone-
sian culture while the values 󰜌󰜌of the West are taken in accordance with the theory
of selective adaptative Trikon (continuity, convergent and concentric). Three
contributions of Ki Hadjar Dewantara’s educational philosophy for the Indone-
sian education are the application of a trilogy of leadership in education, three
centers of education and the paguron system.
Keywords: progressivism, essentialism, Among.
PENDAHULUAN
Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar menyebab-
kan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencer-
daskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia tetapi mulai berge-
ser menuju pendidikan sebagai komoditas (Saksono, 2010: 76). Penga-
ruh globalisasi yang sedang dan akan berlangsung akan berpengaruh
terus-menerus sampai waktu yang tidak ditentukan dan ini semakin
sulit untuk diatasi. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi pada masa-masa yang akan datang, rasanya sangat berat
sehingga bangsa Indonesia harus secara serius menangani masalah ini.
Globalisasi telah mengakibatkan pergeseran tujuan pendidikan
nasional dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak lagi hanya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih berfokus untuk
menghasilkan lulusan yang menguasai scientia. Dengan penguasaan
scientia dinilai mengarahkan peserta didik kepada hasil yang bersifat
pragmatis dan materialis, karena kurang membekali peserta didiknya
dengan semangat kebangsaan, semangat keadilan sosial, serta sifat-
sifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai warga negara (Saksono,
2010: 76). Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter
yang cukup memprihatinkan. Demoralisasi mulai merambah di dunia
pendidikan seperti ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan
diri, kurangnya tanggung jawab sosial, hilangnya sikap ramah-tamah
dan sopan santun (Sutiyono dalam Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2010:
42).
Henricus Suparlan 57
Untuk menangkal model pendidikan semacam itu maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap
distorsi-distorsi pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Ki
Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya usaha kemajuan ditempuh
melalui petunjuk “trikon”, yaitu kontinyu dengan alam masyarakat
Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu
dengan alam universal, dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu
namun tetap mempunyai kepribadian sendiri (Dewantara, 1994: 371).
Pestalozzi, Frobel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh pen-
didikan yang berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan kebu-
dayaan di dalam kurikulum pendidikan. Mulai dari TK (Taman Kanak-
kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah unsur-unsur kebuda-
yaan lokal dimasukkan dalam kurikulum untuk melatih panca indera
jasmani, kecerdasan dan utamanya adalah kehalusan budi pekerti.
Pelajaran yang diberikan di Taman Indria mulai dari dolanan anak,
mendongeng, hingga sariswara yaitu menggabungkan antara lagu,
cerita dan sastra. Nilai-nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik
rasa, pikiran dan budi pekerti. Anak-anak yang sudah agak besar,
misalnya di Sekolah Menengah Pertama (Taman Dewasa) dan Sekolah
Menengah Atas (Sekolah Menengah Madya), diberikan pelajaran olah
gendhing.
Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa olah gendhing dan seni
tari adalah untuk memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan
(Dewantara, 2011: 344). Tari Bedoyo dan Tari Serimpi diberikan kepada
anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang
mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian, dan rasa keindahan.
Berdasarkan pada uraian di atas maka artikel ini secara khusus
akan membahas beberapa permasalahan, yaitu: (a) Apa hakikat pendi-
dikan menurut Ki Hadjar Dewantara?; (b) Apa filsafat pendidikan Ki
Hadjar Dewantara?; dan (c) Apa sumbangan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara bagi pelaksanaan pendidikan Indonesia?
58 Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 1, Februari 2015
KONSEPSI PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA
DALAM TINJAUAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan
untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat
Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan dalam alam per-
guruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara memasukkan kebudayaan dalam diri anak
dan memasukkan diri anak ke dalam kebudayaan mulai sejak dini, yai-
tu Taman Indria (balita). Konsep belajar ini adalah Tri No, yaitu nonton,
niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton di sini adalah secara pasif
dengan segenap panca indera. Niteni (affective) adalah menandai, mem-
pelajari, mencermati apa yang ditangkap panca indera, dan nirokke
(psychomotoric) yaitu menirukan yang positif untuk bekal menghadapi
perkembangan anak (Dwiarso, 2010: 1).
Ketika anak didik sudah menginjak pada pendidikan Taman Mu-
da (Sekolah Dasar), kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan
Nglakoni. Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya
dididik intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki Hadjar Dewantara
'ngerti', melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective)
serta nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah
anak menjalani proses belajar mengajar dapat mengerti dengan akal-
nya, memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan atau
melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan
masyarakat.
Sebagai bagian akhir dari hasil pendidikan, menurut Ki Hadjar
Dewantara, adalah menghasilkan manusia yang tangguh dalam kehi-
dupan masyarakat. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang ber-
moral Taman Siswa, yaitu mampu melaksanakan Tri Pantangan yang
meliputi tidak menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan, tidak
melakukan manipulasi keuangan dan tidak melanggar kesusilaan (Ki
Suratman, 1987 : 13).
Henricus Suparlan 59

Komentar

Postingan populer dari blog ini